BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai seorang manusia tentunya
kita menginginkan tubuh yang sehat dan kuat. Tubuh yang sehat dan kuat akan
memberikan kemudahan dalam memberikan kemudahan dalam melakukan berbagai macam
aktivitas yang vital bagi setiap orang. Aktivitas yang dilakukan tentunya
mendukung proses kehidupan dan interaksi antar manusia yang satu dan yang
lainnya.
Setiap detik dunia mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan seperti kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, politik, budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Semua itu mengarah kepada penyeragaman, kita dapat melihat polahidup, ekonomi, budaya, dan teknologi yang mirip disetiap negara.
Setiap detik dunia mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan seperti kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, politik, budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Semua itu mengarah kepada penyeragaman, kita dapat melihat polahidup, ekonomi, budaya, dan teknologi yang mirip disetiap negara.
Pola
hidup tidak sehat tentu tidak benar dan harus dihindari, pengetahuan tentang
penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk menanamkan pola hidup sehat.
Salah satu penyakit yang timbul adalah apendisitis.
Apendiksitis
adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi
terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai
aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman,
1989).
Penjelasan selanjutnya akan di bahas
pada bab pembahasan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi
apendisitis?
2. Apa definisi dari apendisitis?
3. Bagaimana etiologi apendisitis?
4. Apa manifestasi klinik apendisitis?
5. Bagaimana patofisiologi apendisitis?
6. Bagaimana penatalaksanaan
apendisitis?
7. Apa komplikasi apendisitis?
8. Bagaimana cara memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas pembuatan makalah mata kuliah Sistem Pencernaan II serta
mempresentasikannya.
1.3.2. Tujuan Khusus :
Tujuan
khusus penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui anatomi dan
fisiologi apendisitis
2. Untuk memahami definisi dari
apendisitis
3. Mengetahui etiologi apendisitis
4. Dapat mengetahui manifestasi klinik apendisitis
5. Memahami patofisiologi apendisitis
6. Mengetahui penatalaksanaan
apendisitis
7. Mengetahui komplikasi apendisitis
8. Mengetahui dan mampu memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis
1.4. Metode Penulisan
Makalah
ini disusun dengan melakukan studi pustaka dari berbagai buku referensi dan
internet.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan dari makalah ini adalah BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari : latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan dan manfaat penulisan.
BAB II PEMBAHASAN, dan BAB III ASUHAN KEPERAWATAN, BAB IV PENUTUP terdiri dari
kesimpulan dan saran.
1.6. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui letak atau posisi anatomi
dan fisiologi apendisitis
2. Mengetahui penyebab dan proses
perjalanan penyakit apendisitis
3. Memahami
parameter pengkajian yang tepat untuk menentukan status fungsi gastrointestinal
4.
Mampu membuat asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan apendisitis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi dan Fisiologi Appendix
Appendix
vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum, tetapi
seiring pertumbuhan dan distensi caecum.
Posisi apendiks terletak
posteromedial caecum.
Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen dan posisinya
bervariasi. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior
ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada
pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara
klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis
yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.
Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm.
Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan
musin.
Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml
per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan
pada pathogenesis apendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.
2.2
Definisi
Apendiksitis
adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak
pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis
adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan
mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).
Apendisitis
adalah peradangan akibat infeksi pada di umbai cacing (apendiks). Infeksi ini
bisa terjadi pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, apendiks itu bisa pecah.
Apendiksitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).
2.3. Etiologi
Appendisitis
belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid,
ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen
appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji –
bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa
akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling
sering adalah E. Coli dan streptococcus
3. Laki – laki lebih banyak dari
wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan
oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk appendiks.
5. Appendik yang terlalu panjang.
6. Appendiks yang pendek.
7. Penonjolan jaringan limpoid dalam
lumen appendiks.
8. Kelainan katup di pangkal appendiks.
2.4. Manifestasi Klinik
Nyeri
terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus kebelakang (kepunggung) dan
biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan
lepas mungkin akan dijumpai.
Derajat
nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi
dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan
nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal, bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada
defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau
ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.
Palpasi
kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada
kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih
menyebar, distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien
memburuk.
2.5. Patofisiologi
Apendisitis
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada
saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.
Bila
sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat
menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif
akut.
Apabila
aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti
ganggren. Stadium ini disebut apendisitis
ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut
appendikssitis perforasi.
Bila
proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang.
Omentum
pada anak-anak lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
untuk terjadi perforasi. Sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada
gangguan pembuluh darah.
2.6. Penatalaksanaan
Pada
apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam
waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi
fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang
peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.
1. Tindakan pre operatif, meliputi
penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien
diminta untuk tirah baring dan dipuasakan
2. Tindakan operatif : appendiktomi
3. Tindakan post operatif, satu hari
pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30
menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari
ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.
2.7. Komplikasi
1. Perforasi dengan pembentukan abses
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati (jarang
terjadi)
|
|
|
|
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
1. Data demografi
Identitas klien : nama, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat,
nomor register.
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan
bawah.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada daerah
abdomen kanan bawah yang menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami
demam tinggi
c) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami
operasi sebelumnya pada colon.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang
mengalami jenis penyakit yang sama.
3. Pemeriksaan fisik ROS (review of
system)
a) Kedaan umum : kesadaran
composmentis, wajah tampak menyeringai, konjungtiva anemis.
b) Sistem kardiovaskuler : ada distensi
vena jugularis, pucat, edema, TD >110/70mmHg; hipertermi.
c) Sistem respirasi : frekuensi
nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak
ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi,
whezing, stridor.
d) Sistem hematologi : terjadi
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.
e) Sistem urogenital : ada ketegangan
kandung kemih dan keluhan sakit pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin
secara lancar
f) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan
dalam pergerakkan karena proses perjalanan penyakit
g) Sistem Integumen
: terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
h) Abdomen : terdapat
nyeri tekan, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi abdomen.
4. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup
sehat
Adakah ada kebiasaan merokok,
penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olah raga (lama
frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien biasanya akan mengalami
gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai
peristaltik usus kembali normal.
c) Pola Eliminasi
Pada pola eliminasi urine akibat
penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK
ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi
alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi
sehingga terjadi penurunan fungsi.
d) Pola aktifitas
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan
dan malas bergerak karena rasa nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus
bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
e) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik
nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu,
orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
f) Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan
nyeri yang sangat sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
g) Pola Persepsi dan konsep diri
Penderita menjadi ketergantungan
dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. Klien
mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi
yang tidak stabil.
h) Pola hubungan
Dengan keterbatasan gerak
kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan
dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
i) Pola Reproduksi seksual
Adanya larangan untuk berhubungan
seksual setelah pembedahan selama beberapa waktu.
j) Pola penanggulangan stress
Sebelum MRS : klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.
Sesudah MRS : klien kalau stress
murung sendiri, menutup diri
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebelum MRS : klien rutin beribadah,
dan tepat waktu.
Sesudah MRS : klien biasanya tidak
tepat waktu beribadah.
5. Pemeriksaan diagnostik
a) Ultrasonografi adalah diagnostik
untuk apendistis akut
b) Foto polos abdomen : dapat
memperlihatkan distensi sekum, kelainan non spesifik seperti fekalit dan pola
gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk
mengetahui adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi
d) Pemeriksaan
Laboratorium
§ Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml
§ Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan
eritrosit.
3.2. Diagnosa Keperawatan
ANALISA DATA
NO
|
DATA PENUNJANG
|
MASALAH
|
ETIOLOGI
|
1
|
DS : pasien mengatakan nyeri pada abdomen kanan bawah
tembus ke punggung
DO :
Ø
Wajah
tampak menyeringai
Ø
P : nyeri karena adanya
perangsangan
Ø
Q : nyeri seperti
tertusuk-tusuk
Ø
R : nyeri dibagian kanan
bawah abdomen
Ø
S : skala nyeri 8
Ø
T : nyeri terjadi saat
ditekan
|
Gangguan
rasa nyaman (nyeri)
|
Adanya perangsangan pada epigastrium
|
2
|
DS : -
DO :
Ø TTV : Suhu 380C; Nadi
>80x/menit; TD >110/70 mmHg; RR >20x/menit
Ø Terdapat luka insisi bedah
|
Resiko
terjadi infeksi
|
Diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi
bedah
|
3
|
DS : Pasien mengatakan haus
DO :
Ø Ada
tanda-tanda dehidreasi :
Membrane mukosa kering
Turgor kulit menurun >2detik
Ø Urin
pekat (oliguri <500 cc/hari)
Ø TTV
tidak stabil:
TD >120/80 mmHg
Nadi >80x/menit
RR : >20x/menit
Suhu : >37,50C
|
Kekurangan
volume cairan
|
Pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses
penyembuhan
|
4
|
DS : Pasien dan keluarga mgatakan tidak mengetahui tentang
proses penyakit dan pengobatannya
DO :
Ø Bertanya mengenai informasi proses
penyakit
Ø Bertanya tentang perawatan
pascaoperasi
Ø Bertanya tentang pengobatan
|
Kurang
pengetahuan
|
tidak mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/
perawatan pasca pembedahan
|
Diagnosa
keperawatan apendisitis :
Pre-op
:
1. Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya
perangsangan pada epigastrium
Post-op
:
2. Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas
jaringan sekunder terhadap luka insisi bedah
3. Kekurangan volume cairan b/d
pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan
4. Kurang pengetahuan b/d tidak
mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/ perawatan pasca pembedahan
3.3. Intervensi
1. Dx kep. 1 : Ganggan rasa nyaman
(nyeri) b/d adanya perangsangan pada epigastrium
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri pasien dapat berkurang
KH : Nyeri hilang, skala 0-3, pasien
tampak rileks, mampu tidur/ istirahat selama 7-9 jam dalam sehari
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala
0-10)
|
Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan
penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri, menunjukkan terjadinya
abses/peritonitis.
|
Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
|
Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan
posisi terlentang
|
Dorong ambulasi dini
|
Merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan
ketidaknyamanan abdomen
|
Berikan aktifitas hiburan
|
Meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan
koping
|
Kolaborasi pemberian analgetik
|
Menghilangkan dan mengurangi nyeri
|
2. Dx kep. 2 : Resiko terjadi infeksi
b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi bedah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam klien tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi
KH : Meningkatkan penyembuhan luka
dengan benar, drainase purulen, tidak ada eritema dan tidak ada demam. Tidak
ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor ) luka bersih dan kering
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Awasi TTV. Perhatikan demam menggigil, berkeringat,
perubahan mental.
|
Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses
|
Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptic
|
Menurunkan risiko penyebaran bakteri
|
Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase
luka
|
Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi
|
Berikan informasi yang tepat pada pasien/ keluarga pasien
|
Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan
emosi, membantu menurunkan ansietas
|
Berikan antibiotik sesuai indikasi
|
Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan
jumlah organisme (pada infeksi yang ada sebelumnya) untuk menurunkan
penyebaran dan pertumbuhannya
|
3. Dx kep 3 : Kekurangan volume cairan
b/d pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pasien dapat mempertahankan keseimbangan
cairan
KH : Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
: membran mukosa lembab, turgor kulit baik (< 2 detik), TTV stabil (TD
: 110/70-120/80 mmHg; RR : 16-20x/menit; N : 60-100x/menit; S : 36,5- 37,50
C), haluaran urin adekuat.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Observasi TTV
|
Tanda
yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler
|
Observasi membran mukosa, kaji
turgor kulit dan pengisian kapiler
|
Indikator
keadekuatan intake cairan dan elektrolit
|
Awasi intake dan output, catat
warna urine/konsentrasi, berat jenis
|
Penurunan
pengeluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga
dehidrasi/kebutuhan cairan meningkat
|
Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus dan, gerakan usus
|
Indikator
kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan per oral
|
Berikan sejumlah kecil minuman
jernih bila pemasukan peroral dimulai, dan lanjutkan dengan diet sesuai
toleransi
|
Menurunkan
iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan
|
4. Dx kep. 4 : Kurang pengetahuan b/d
tidak mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/ perawatan pasca pebedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pasien dan keluarga mampu memahami dan
mengerti tentang proses penyakit dan pengobatannya
KH : Berpartisipasi dalam program
pengobatan
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji ulang pembatasan aktifitas pascaoperasi
|
Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan
kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah
|
Anjurkan menggunakan laksatif/ pelembek feses ringan bila
perlu dan hindari enema
|
Membantu kembali ke fungsi usus, mencegah mengejan saat
defekasi
|
Diskusikan perawatan insisi, termasuk mengganti balutan,
pembatasan mandi, dan kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/pengikat
|
Pemahaman peningkatan kerja sama dengan program terapi,
meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan
|
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Appendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah
tonjolan dari apex caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum. Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm.
Lebar 0,3 – 0,7 cm. Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml
per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan
pada pathogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi.
Apendiksitis
adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi
terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai
aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman,
1989).
Appendisitis
belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid,
ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen
appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji –
bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa
akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling
sering adalah E. Coli dan streptococcus
Tanda
dan gejalanya adalah nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus
kebelakang (kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah
dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila
dilakukan tekanan.
Apendisitis
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi
mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.
Bila
sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat
menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif
akut.
Apabila
aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti
ganggren. Stadium ini disebut apendisitis
ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut
appendikssitis perforasi.
Pada
apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam
waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi
fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang
peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.
Komplikasinya
:
1. Perforasi dengan pembentukan abses
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati (jarang
terjadi)
Cara
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis meliputi
pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
4.2.
Saran
Kepada
seluruh pembaca baik mahasiswa maupun dosen pembimbing untuk melakukan
kebiasaan hidup sehat, karena pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan
harus dihindari, pengetahuan tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas
utama untuk menanamkan pola hidup sehat. Salah satu penyakit yang timbul pada
sistem pencernaan adalah apendisitis.
DAFTAR
PUSTAKA
Price, Sylvia Anderson. 2005. PATOFISIOLOGI
: konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC.
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku-Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi
untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta
: EGC.
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi Dan
Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC.
______,
2007, apendisitis, terdapat pada:www. harnawatiarjwordpress.com diakses tanggal
1 Juni 2008.
1 komentar:
terima kasih infonya
Posting Komentar